Tahun baru Hijriyah jatuh setiap tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Dalam sejarahanya, tahun pertama Hijriyah
ditetapkan oleh Umar bin Al-Khattab untuk menandai peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah di tahun 622
sesudah masehi. Untuk tahun ini, Tahun baru Hijriyah 1438 jatuh pada hari Minggu tanggal 2 Oktober 2016.
Walaupun di saat itu bangsa Arab sudah mengenal kalender bulan dengan bulan Muharram sebagai bulan pertama dan Dzulhijjah sebagai bulan ke-12, masyarakat Arab mengenali tahun dengan menamainya dengan peristiwa penting yang terjadi di tahun tersebut. Misalnya sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan nama “Tahun Gajah”, karena pada tahun tersebut terjadi penyerangan terhadap Ka'bah oleh pasukan yang menggunakan gajah sebagai kendaraan perangnya.
Digunakannya sistem perhitungan tahun baru Hijriyah bermula di masa Umar bin Al-Khattab r.a. atau 6 tahun pasca wafatnya Nabi SAW. Salah satu riwayat menyebutkan yaitu ketika khalifah mendapat surat balasan yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa angka tahun. Beliau lalu bermusyawarah dengan para sahabat dan mereka bersepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madina sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Di Indonesia, tahun baru Hijriah disambut meriah khususnya oleh masyarakat Jawa yang juga merayakan 1 Muharram atau 1 Suro. Masyarakat Jawa mulai merayakan tahun baru Hijriyah di abad ke-16 ketika Sultan Agung menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa dan memadukan tradisi Jawa dengan Islam dalam upaya memperluas ajaran Islam di bumi nusantara.
Di Yogyakarta, masyarakat bersama pengurus keraton melantunkan tembang yang berisi doa-doa dan ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu juga dilakukan ritual Lampah Mubeng dengan mengelilingi komplek keraton tanpa berbicara, minum ataupun merokok sebagai bentuk perenungan dan interospeksi diri. Di dearah-dearah lainnya, malam 1 Muharram juga dirayakan dengan acara pawai obor keliling sambil melantunkan shalawat dan doa. Pembawaan obor itu bermakna berpindahnya dari kegelapan ke hidup yang terang.
Walaupun di saat itu bangsa Arab sudah mengenal kalender bulan dengan bulan Muharram sebagai bulan pertama dan Dzulhijjah sebagai bulan ke-12, masyarakat Arab mengenali tahun dengan menamainya dengan peristiwa penting yang terjadi di tahun tersebut. Misalnya sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan nama “Tahun Gajah”, karena pada tahun tersebut terjadi penyerangan terhadap Ka'bah oleh pasukan yang menggunakan gajah sebagai kendaraan perangnya.
Digunakannya sistem perhitungan tahun baru Hijriyah bermula di masa Umar bin Al-Khattab r.a. atau 6 tahun pasca wafatnya Nabi SAW. Salah satu riwayat menyebutkan yaitu ketika khalifah mendapat surat balasan yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa angka tahun. Beliau lalu bermusyawarah dengan para sahabat dan mereka bersepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madina sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Di Indonesia, tahun baru Hijriah disambut meriah khususnya oleh masyarakat Jawa yang juga merayakan 1 Muharram atau 1 Suro. Masyarakat Jawa mulai merayakan tahun baru Hijriyah di abad ke-16 ketika Sultan Agung menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa dan memadukan tradisi Jawa dengan Islam dalam upaya memperluas ajaran Islam di bumi nusantara.
Di Yogyakarta, masyarakat bersama pengurus keraton melantunkan tembang yang berisi doa-doa dan ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu juga dilakukan ritual Lampah Mubeng dengan mengelilingi komplek keraton tanpa berbicara, minum ataupun merokok sebagai bentuk perenungan dan interospeksi diri. Di dearah-dearah lainnya, malam 1 Muharram juga dirayakan dengan acara pawai obor keliling sambil melantunkan shalawat dan doa. Pembawaan obor itu bermakna berpindahnya dari kegelapan ke hidup yang terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar